Header Ads Widget

Update

6/recent/ticker-posts

Tragedi Aksi Mahasiswa, Buruh, dan Ojol 25–29 Agustus 2025: Dari Aspirasi ke Chaos, Mengarah ke Skenario Terencana

H.Wahyu Wibisina Dewan Pendiri LSM  (LMP) Laskar Merah Putih 

ZonaExpose.com

Jakarta, —Gelombang demonstrasi mahasiswa (25/8) dan buruh (28/8) di Jakarta yang kemudian disusul oleh solidaritas besar-besaran ojek online telah berkembang menjadi krisis serius yang mengguncang ibu kota. Dari tragedi meninggalnya pengemudi ojol, Affan Kurniawan, hingga kerusuhan pada 29 Agustus yang meluas di sekitar Gedung DPR, Mako Brimob Kwitang, dan Mapolda Metro Jaya, situasi kini berada pada titik rawan yang belum terlihat tanda-tanda akan mereda.Senin (1/9/2025)

Aksi yang Tak Akan Berhenti Begitu Saja

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pergerakan massa ini tidak akan berhenti dalam waktu singkat. Selama ada pengendali dari balik layar yang terus memberi dukungan, baik secara logistik, strategi, maupun provokasi, serta selama tuntutan belum terealisasi, maka arus mobilisasi akan terus berlangsung.

Lebih dari sekadar unjuk rasa spontan, rangkaian aksi ini mengindikasikan adanya skenario yang disusun secara matang. Pola gerakan terlihat sistematis: dari memicu kemarahan publik dengan tragedi korban jiwa, mengarahkan massa ke titik-titik vital keamanan, hingga menciptakan chaos terukur yang melemahkan moral dan energi aparat.

Apabila pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret yang memberikan rasa aman, adil, dan nyaman bagi rakyat, maka kepercayaan publik terhadap negara berpotensi semakin hilang. Kondisi ini adalah titik rawan yang bisa mengguncang legitimasi pemerintah di mata rakyat.

Tekanan Terhadap Aparat Keamanan

Dalam dua hari terakhir, pola kerusuhan menunjukkan adanya tekanan langsung terhadap institusi keamanan. Bentrokan di Mako Brimob Kwitang, penyerangan Mapolda Metro Jaya, hingga pembakaran pos polisi bukan sekadar ledakan spontan. Aksi itu tampak diarahkan untuk memecah fokus aparat agar kekuatan mereka terkuras di berbagai titik.

Tujuannya jelas: aparat dipaksa bertahan di markas masing-masing, sementara di lapangan mereka harus membagi konsentrasi antara mengamankan gedung vital negara dan memadamkan kerusuhan yang muncul di berbagai daerah. Dengan demikian, perlahan namun pasti, kapasitas pertahanan di Gedung DPR RI—titik simbolik utama negara—akan terkikis.

DPR RI Sebagai Titik Sasaran Utama

Bila dianalisis lebih dalam, pola pergerakan ini tampaknya diarahkan untuk mengalihkan perhatian dan kekuatan aparat agar menyebar tipis. Sementara itu, Gedung DPR RI tetap menjadi titik pusat sasaran.

Logikanya, ketika aparat keamanan sibuk mempertahankan markas Brimob dan Polda, kekuatan cadangan yang seharusnya menopang pertahanan DPR akan melemah. Pada titik inilah terbuka potensi bahwa massa yang terorganisir dapat mendorong masuk dan menguasai Gedung DPR RI. Jika itu terjadi, maka tuntutan mereka akan mencapai puncaknya, sekaligus menciptakan simbol kemenangan politik yang berbahaya bagi stabilitas negara.

Pandangan H. Wahyu Wibisana

Menanggapi eskalasi ini, H. Wahyu Wibisana menegaskan bahwa bangsa Indonesia menghadapi ancaman serius yang tidak boleh disepelekan.

Ini bukan lagi sekadar gerakan mahasiswa, buruh, atau ojol yang menuntut hak. Ini sudah berkembang menjadi gerakan terstruktur yang mencoba memecah kekuatan aparat dan membuka jalan menuju penguasaan gedung negara. Jika pemerintah lengah, Gedung DPR RI bisa jatuh ke tangan massa, dan itulah puncak skenario yang mereka kejar,” ujar Wahyu.

Ia menambahkan bahwa pemerintah harus segera mengambil langkah tegas, cepat, dan tepat:

1. Mengungkap dan memutus kendali dari balik layar yang menyuplai energi pada gerakan massa.

2. Menjamin transparansi investigasi terhadap insiden Brimob–ojol untuk meredam amarah publik.

3. Memusatkan strategi pertahanan pada gedung vital negara tanpa mengabaikan keamanan masyarakat umum.

Jalan Keluar: Kendalikan Api Sebelum Membakar Bangsa

H. Wahyu Wibisana menegaskan, dialog dan de-eskalasi tetap harus menjadi jalur utama, namun tidak boleh diartikan sebagai kelemahan. Negara harus hadir memberikan rasa aman kepada rakyat, tanpa mengorbankan hak-hak konstitusional mereka.

Kita sedang berhadapan dengan gerakan yang tidak sekadar emosional, tetapi terencana. Jika kita gagal membaca pola ini, maka api yang sekarang membakar pos polisi dan gedung-gedung bisa menjalar ke simbol tertinggi demokrasi kita. Jangan sampai kita menyesal ketika sudah terlambat,” pungkas Wahyu.

Penutup

Rangkaian aksi 25–29 Agustus 2025 menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Dari aspirasi mahasiswa dan buruh, solidaritas ojol, hingga skenario chaos yang terukur, semua menyatu dalam pusaran konflik yang bisa berakhir pada hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah.

Hanya dengan kepemimpinan yang berani, transparan, dan adil, negara dapat mengendalikan situasi. Jika tidak, sejarah bisa mencatat periode ini sebagai titik rapuh di mana benteng demokrasi kita hampir runtuh dari dalam.(red)

Editor: Zaenal Abidin CH

Posting Komentar

0 Komentar