Header Ads Widget

Update

6/recent/ticker-posts

“Aksi Massa Sarat Anomali, H. Wahyu Wibisana: Ada Desain Konflik yang Terstruktur”

Aksi Demontrasi 

ZonaExpose.com

Jakarta – Aksi massa yang berlangsung 28 Agustua 2025 yang lalu ,meninggalkan sejumlah kejanggalan. Kelompok buruh yang dipimpin Said Iqbal menarik diri lebih awal, namun massa lain justru bertahan hingga malam dengan pola gerakan yang tidak biasa. Tokoh organisasi kemasyarakatan , H. Wahyu Wibisana, S.E., menilai kondisi tersebut menunjukkan adanya indikasi desain konflik yang perlu diusut secara tuntas.

“Biasanya massa aksi membawa spanduk, poster, atau bambu untuk bendera. Tetapi kali ini ada alat las, gerinda besi, hingga kembang api yang ditembakkan berulang kali. Itu anomali. Ada tanda-tanda keterlibatan pihak dengan kemampuan khusus yang sengaja menciptakan ketegangan,” ujar Wahyu dalam keterangan tertulis, Senin (1/9).

Tiga catatan kejanggalan utama menjadi sorotan Wahyu:

1. Penarikan diri kelompok buruh lebih awal, menimbulkan dugaan adanya informasi khusus yang tidak diketahui publik.

2. Munculnya massa dengan perlengkapan berbahaya, yang tidak lazim dalam unjuk rasa sipil.

3. Adanya provokasi terarah, termasuk laporan pengemudi ojek online (ojol) yang didorong terlibat dalam kericuhan, diperkuat bukti video yang beredar.

Menurutnya, rangkaian fakta ini memperlihatkan pola yang tidak murni. “Ini bukan sekadar demonstrasi spontan, melainkan berpotensi dimanfaatkan oleh aktor lain yang punya agenda tertentu,” jelasnya.

Wahyu mengingatkan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak konstitusional yang dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998. Namun, kebebasan itu memiliki batasan sebagaimana diatur Pasal 28J UUD 1945.

“Konstitusi menegaskan hak warga negara, tetapi juga memberi batasan demi ketertiban, keamanan, dan hak orang lain. Jika demonstrasi menggunakan alat berbahaya, maka masuk ranah pidana.

Ia merujuk Pasal 170 KUHP yang melarang kekerasan atau perusakan di muka umum serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan. Aturan tersebut memberi legitimasi kepada aparat untuk bertindak tegas sekaligus proporsional.

Lebih jauh, Wahyu menilai fenomena ini terkait potensi perang hibrida non-militer sebagaimana diingatkan Kementerian Pertahanan. Menurutnya, kekecewaan publik bisa menjadi pintu masuk bagi infiltrasi kepentingan gelap.

“Presiden sudah berulang kali menegaskan bahwa demokrasi harus dijaga dari intervensi tersembunyi. Jika aksi massa berubah menjadi arena konflik buatan, ini bukan lagi persoalan aspirasi, tetapi ancaman terhadap stabilitas nasional,” ujarnya.

Wahyu Wibisana

Dalam menghadapi situasi seperti ini, Wahyu menekankan tiga prinsip yang harus dipegang aparat:

Proporsionalitas, agar penggunaan kekuatan seimbang dengan ancaman.

Akuntabilitas, setiap tindakan harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

Transparansi, untuk menjaga kepercayaan publik.

Di sisi lain, ia meminta masyarakat tetap waspada dan tidak mudah terprovokasi. “Kritik dan aspirasi boleh, tetapi harus dalam koridor hukum. Jangan sampai perjuangan rakyat yang tulus ditunggangi pihak-pihak yang ingin menciptakan kekacauan,” tambahnya.

Wahyu menegaskan perlunya investigasi mendalam terhadap sumber logistik berupa alat las, gerinda, dan kembang api yang digunakan dalam aksi. Ia juga mendorong koordinasi erat antarintelijen, Polri, dan TNI untuk mengantisipasi provokasi lanjutan.

“Demokrasi kita hanya akan sehat jika aspirasi rakyat dijalankan secara murni. Jika demonstrasi sudah berubah menjadi konflik rekayasa, itu jelas merugikan bangsa. Aparat, pemerintah, dan masyarakat harus bersatu menjaga ketertiban dalam bingkai hukum dan konstitusi,” pungkasnya.(red)

Editor: Zaenal Abidin CH 

Posting Komentar

0 Komentar